Meski lambat di bagian awal, Nibiru dan Kesatria Atlantis mampu memaku konsentrasi pembaca pada petualangan empat bocah yang mempertahankan
pulau hunian mereka. Kelanjutan fiksi fantasi lokal ini pantas ditunggu.
TEBALNYA buku Nibiru dan Kesatria Atlantis (692 halaman) tidak mampu
meredam laju pembacaan Lia Aprilia. “Cuma dua malam,” kata perempuan 24 tahun itu saat Obrolan Pembaca Media Indonesia (OPMI) , Sabtu (29/1), di Warung Kopi Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat.
Peserta OPMI lainnya cuma tertawa. “Kalau saya, satu hari satu malam,” celetuk Firmanto A Purawan, lalu tersenyum lebar.
Peserta lain, Truly Rudiono yang aktif di Komunitas Good Reads Indonesia lantas menyambung, ”Di awal buku, kisah ini berjalan lambat. Baru pada bagian akhir kita seperti diajak berlari mengikuti petualangan Dhaca (tokoh utama). Yang tadinya bodoh banget kok tiba-tiba jadi hebat sekali.”
Pendapat Truly diamini Shafiq, penggiat komunitas Indo Harry Potter, seraya menambahkan, “Iya, nih. Lambat sekali pada bagian awal. Saya enggak cepat mengerti, ini buku tentang apa sih?”.
Dia lantas menyerah di bab pertama.
“Ya, racun buku ini terlambat. Baru asyik di bagian-bagian akhir,” imbuh Dwi Astarini.
Nibiru dan Kesatria Atlantis terbitan Tiga Serangkai ini berkisah mengenai petulangan Dhaca Suli mempertahankan tanah airnya, Kedhalu, dari kekuatan Nibiru dan penguasa Atlantis.
Kedhalu dikisahkan penulisnya, Tasaro GK, ialah pulau hunian orang-orang berkekuatan super zaman purbakala, disebut Pughaba. Ada delapan macam Pughaba, yaitu kemampuan menguasai unsur alam, bermacam binatang, ruang dan waktu, ilmu menghilang, ilmu pengobatan, kekebalan, berkekuatan raksasa, serta mampu mengendalikan pikiran. Namun pada umumnya warga Kedhalu hanya menguasai satu macam saja.
Laman
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Boleh komentar,,,dilarang spam..