Laman


ShoutMix chat widget

Sabtu, 09 Juli 2011

Dokumen Dhenok Kristianty

Kehadiran karya mereka memancarkan simbol keharmonisan. Pemahaman itu muncul karena kedua penulis berasal dari dua keyakinan religius berbeda.
DOK DHENOK KRISTIANTI
PADA dekade ’80- an, dunia sastra di Indonesia mengenal dua nama penyair pe rempuan, Nana Ernawati dan Dhenok Kristianti. Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Ahmadun Yosi Herfanda mengakui bahwa kedua penyair perempuan dari Yogyakarta, Nana dan Dhenok, memang sangat diperhitungkan dalam konstelasiperpuisian di Indonesia ketika itu.

Namun, dua penyair dengan karakter kuat itu mendadak lesap dalam keriuhan zaman. Mereka seakan undur diri dari panggung sajak Indonesia selama lebih dari dua dekade. Kini, setelah 25 tahun berlalu, Nana dan Dhenok kembali menapakkan jejak di ranah sastra melalui peluncuran bu ku puisi bertajuk 2 di Batas Cakrawala.
”Setelah menjadi guru, saya memang sibuk mengajar. Meski begitu, saya masih saja tetap menulis, tetap tak berhenti menulis,” ucap Dhenok menjelaskan mengapa ia seolah hi lang dari dunia puisi untuk waktu yang berbilang panjang–sekarang Dhenok mengajar di sebuah sekolah internasional di Bali.
Adapun Nana bilang pernikahan mengharuskan ia tak eksis untuk sementara waktu di jagat puisi. ”Sekarang, setelah anak-anak besar, mungkin waktunya untuk kem bali tampil,” terang Nana, yang sejak kecil Nana bercita-cita sebagai penyair.
Ahmadun mengakui, kekuat an sajak dari dua penyair perempuan itu, Nana dan Dhenok, tetap stabil. Kestabilan pengucapan bersajak semakin tangguh dengan asupan cakrawala pengalaman yang lebih beragam seiring usia yang bertambah.

Satu hal yang begitu mencolok dari kedua penyair tampil lewat bahasa ungkap yang mereka pergunakan. Dalam amatan Ahmadun, keduanya menggunakan gaya terus terang tanpa menampilkan kerumitan metafora. ”Saya terutama tertarik pada puisi mereka yang bertema religius dan mengandung kritik sosial,” demikian tanggapan Ahmadun.
Budayawan Rm Mudji Sutrisno menyatakan bahwa kehadiran kembali kedua penyair di panggung puisi di sebabkan panggilan dari puisi itu sendiri. Bila diselisik secara lebih mendasar, puisi merupakan panggilan untuk keluar dari kejenuhan.
Pengertian demikian berangkat dari paham akan kehidupan yang dapat diamati dalam tiga wi layah: estetika untuk segala hal yang berhubungan dengan keindahan, epistemologi untuk segala hal yang berhubungan dengan
kebenaran, dan etika untuk segala hal yang berhubungan dengan kebaikan. ”Mereka melenyap di keluarga dan kerja. Kini, puisi memanggil mereka kembali,” ucap Mudji.
Di sisi lain–dari sudut ekstraliterer–kehadiran buku 2 di Batas Cakrawala memancarkan simbol keharmonisan. Pemahaman demikian muncul bila pembaca menyadari bahwa Nana dan Dhenok berasal dari dua keyakinan religius yang berbeda.
Nana adalah pemeluk agama Islam, sedangkan Dhenok adalah umat kristiani. Bagi Mudji, situasi yang ditampilkan Nana dan Dhenok memberi pelajaran bahwa per bedaan bukan hambatan, halangan, melainkan jalan me nuju suatu keselarasan, ke harmonisan. Di Batas Cakrawala Menyangkut judul, Nana runtut menjelaskan motif penentuan 2 di Batas Cakrawala sebagai mahkota buku mereka.
Pemilihan angka ‘2’ tak dapat dimungkiri lagi sebagai ekspresi dari jumlah penyair yang berlibat dalam buku puisi Nana Ernawati dan Dhenok Kristiani. Tentang ‘di Batas Cakrawala’, Nana secara terbuka mengakui bahwa pemilihan frase demikian tak lepas dari usia.
Nana, yang kelahir an Yogyakarta pada 1961, kini sudah menjejak usia setengah abad, sedangkan sahabatnya, Dhenok, yang juga kelahiran Yogyakarta pada 1961, pun sudah menapak usia yang sama. Usia menjadi penanda bagi ‘di Batas Cakrawala’.
Melalui pembacaan teliti atas sajak kedua penyair, budayawan Rm Mudji Sutrisno mengakui suasana ‘di Batas Cakrawala’ memang hadir dalam sajak-sajak Nana dan Dhenok.
Pada sajak-sajak Nana, ‘di Batas Cakrawala’ menemukan ekspresi dalam sebaris puisi yang mengucap, ‘berilah aku waktu, bila saatnya tiba, ijinkan aku pantas untukmu’. ”Ia sudah sampai di batas sufi , batas cakrawala,” simpul Mudji.
Petikan sajak dua penyair Kita adalah sekumpulan serigala lapar / yang lebih buruk dari serigala / Kita makan bangkai apa saja / termasuk bangkai sahabat kita. Petikan sajak Pengakuan karangan Nana Ernawati. Sebuah sajak yang menyelisik sisi gelap kehidupan manusia–kehidupan mangsa-memangsa.
Apa yang disampaikan Nana seakan kembali menggemakan diktum dari fi lsuf Inggris Thomas Hobbes (1588-1679) homo humini lupus yang secara diam-diam melatari bellium omnium contra omnes atau perang semua melawan semua.
Tunggu sebentar lagi / jam berapakah ini menurut waktumu?/ Dalam hitunganku, semestinya malam belum lagi tiba / tapi gelap merebak ke penjuru kota / sedang kusiapkan bekal untuk berangkat/ tapi tanpa cahayamu, mana bisa aku melihat? / Ingin kubawa wajahku, tapi hanya kutemukan topeng. Demikian petikan sajak Dhenok Tunggu, Sebentar Lagi. Budayawan Rm Mudji Sutrisno berani secara eksplisit menyatakan bahwa sosok imajinatif yang tengah berbicara dengan ‘si aku-lirik’ dari puisi yang berjudul Tunggu, Sebentar Lagi adalah Yang Ilahi.
Puisi Tunggu, Sebentar Lagi seakan menebalkan kembali pesan akan adanya suatu masa untuk bergegas, untuk tak bisa kembali, sebuah masa yang ditandai oleh bahasa ‘di Batas Cakrawala’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Boleh komentar,,,dilarang spam..

Dokumen Dhenok Kristianty | Info Indie